Cantik,
menarik, ramah dan pintar merupakan cewek idamanku banget. Aku masih ingat
dengan dirimu yang masih polosnya meminjamkan penghapus saat ujian masuk
sekolah. Gadis yang sangat menarik sekali. Mulai saat itu aku sangat suka terhadapmu sejak
pandangan pertama. Sekarang aku masih belum bisa melupakanmu. Mungkin aku harus
mengakhiri ini semua agak aku tidak melihatmu lagi.
Kamu
membuatku takut. Iya, kamu. Kamu adalah cowok teraneh yang pernah aku temui
selama ini. Aku tidak menyangka kamu akan melakukan ini terhadapku. Aku bingung
kepadamu yang membuatku seperti ini. Kini aku harus bertemu kamu setiap hari,
tapi dengan dirimu yang lain yang harus aku temui. Mengapa aku yang harus
begini?
Aku
mengenalmu, menyukaimu dan selalu mencintaimu sehingga aku lupa betapa lama aku
menyimpan rasanya mencintaimu. Aku bahagia sejak ujian masuk sekolah itu. Aku
dan kamu lulus bersama dan masuk di kelas yang sama. Aku selalu memperhatikan
senyumanmu itu. Senyuman yang membuatku melantukan melodi-melodi berirama di
dalam pikiranku. Tapi, semuanya berubah saat kita menjalani hari. Mungkin kita
sebenarnya tidak pernah melalui hari-hari itu.
tujuh
tahun kemudian,
Sedikit
demi sedikit aku menyeruput kopi, aku masih menunggu dia yang akan mengantarkan
sarapan untukku. Aku yakin dia pria istimewa yang akan menikahiku. Keluarganya
sudah seperti keluargaku sendiri. Orang tuanya begitu menyayangiku. Aku sudah
dianggap seperti anaknya sendiri. Dan
langkanya sudah mulai terdengar menyusupi telingaku. Dia berada tepat di
belakangku lalu aku menyapanya terlebih dahulu sebelum dia mengagetkanku.
“Hey…”
Sapaku.
“Lama
ya?” Tanyanya kepadaku.
“Enggak
kok. Mana sarapanku?” Tanyaku balik dengan manja.
“Ini
sayang sarapanmu. Telur mata sapi dan nasi goreng keju kesukaanmu.” Jawabnya
seraya menunjukan makanan itu kepadaku.
“Horeee….”
Kataku sambil menyicip makanan itu.
“Habisin
ya! Setelah itu mari kita ke kantor.” Kata dia sambil menepuk rambutku.
Aku
lalu mengangguk dan mulai menikmati makanan itu. Aku sudah mengenal dia hampir empat
tahun. Ia kakak tingkat temanku, saat awal kuliah aku mengenalnya. Kami baru
berpacaran selama 2 tahun tapi aku sangat mencintainya. Aku sangat ingin
menjadi istrinya nanti. Kami juga berada di kantor yang sama. Dia adalah sosok
yang sangat ku dambakan, sangat sempurna di mata wanita. Mata yang indah, bibir
yang tipis, hidung yang mancung serta perawakannya yang sedang dengan kulit
kuning langsat pastilah menggoda para wanita untuk mendambakan dia menjadi
pasangan yang mesti ada di samping terlebih perhatiannya yang ia berikan
sungguh selalu romantic setiap harinya. Kami bekerja di sebuah media local di
kota kami. Dia menjabat sebagai general manager di kantorku. Kalau aku? Aku
adalah seorang penulis konten dan editor seperti artikel berita. Siang ini aku
akan bertemu seorang klien. Klien ini direkomendasikan oleh tempatku bekerja
sebagai narasumber. Menurut bosku, klienku kali ini berbeda karena ia adalah
seorang pengusaha muda yang usianya sebaya denganku. Ia meraih sukses di usia
yang muda dalam bisnis penjualannya.
tiga
tahun lalu,
Aku
melihatmu, iya aku melihat kamu bersama seorang pria. Aku tahu kita sudah lulus
dan kamu tidak ingin berbicara lagi denganku karena surat yang ku selipkan di
dalam tasmu. Aku sungguh patah hati, sangat patah hati jadinya karena dirimu
itu. Mungkin seleramu sangat tinggi sehingga kamu tidak ingin melihatku di sini
yang merupakan pengagum rahasiamu selama sekolah. Apa kamu tidak tahu? Saat
kamu kehilangan salah satu anting-antingmu, aku bersikap biasa saja tidak ikut
mencari seperti teman-teman lain di kelas. Sebenarnya aku panic dan khawatir
terhadapmu.
“Liat
anting-anting aku gak?” Tanyamu padaku.
“Gak
liat tuh. Kamu sih teledor.” Jawabku agak sinis.
Saat
itu kau pergi melangkah menjauhiku. Aku tidak ingin menyakitimu saat itu, tapi
aku bingung harus berbuat seperti apa dan apa yang harus aku lakukan. Aku ikut
mencari di luar ruangan kelas saat itu secara diam-diam. Hingga pulang sekolah,
sekolah mulai sepi dan malam aku masih mencari milikmu itu. Aku tahu itu sangat
berharga bagimu karena itu adalah hadiah kelulusanmu dari ayahmu. Aku masih
mengingatnya, sekitar empat tahun yang lalu.
“Bagaimana
ujianmu?” Tanya ayahmu.
“Ujian
saya baik ayah. Besok pengumumannya.” Jawabmu kepada ayahmu.
“Bagus,
semoga lulus ya anak ayah sayang.” Kata ayahmu memelukmu.
Keesokan
harinya, kamu dinyatakan lulus dan aku ikut senang. Ayahmu memberikan hadiah
special kepadamu yaitu sepasang anting-anting yang berkilauan yang membuatmu
semakin menarik di pandang mata.
Aku
senang sekali dinyatakan lulus saat itu, aku pulang lalu memeluk ayah.
“Ayah,
saya lulus.” Teriakku dari teras rumah.
Ayah
keluar masih mengenakan pakaian kerjanya. Ia memelukku dan mencium keningku. Ia
bangga kepadaku.
“Anak
ayah hebat.” Kata ayah.
“Siapa
dulu ibunya?” Kata ibu meramaikatn suasana.
Semuanya
tersenyum. Ayah memberiku sebuah kotak kecil berpita biru. Aku membukanya dan
terkejut karena kejutan ayah itu. Ayah memberiku sepasang anting-anting lucu
yang sangat indah. Begitu berkilauan hingga aku sangat menyukainya. Ayah memang
ayah terbaik sedunia yang pernah aku miliki.
--
Klienku
akan datang saat makan siang. Aku menunggu di salah satu resto yang ada di
dekat kantor aku sangat menunggu saat ini. Jika aku berhasil menulis artikel
orang ini maka aku akan mendapat promosi dari perusahan dan menjadi kepala
divisi publish. Sayangnya aku harus berkerja sama dengan orang ini selama tiga
bulan lamanya. Karena klienku meminta artikelnya harus ada setiap seminggu
sekali dan mengupas lebih dalam mengenai dirinya secara personal. Aku masih
menunggu, ya dalam menunggu klien sepertinya harus siap menunggu daripada di
tunggu. Suara klakson mobil putih itu mengejutkanku. Aku tahu itu adalah
temanku yang akan datang memperkenalkan narasumber pengusaha muda itu kepadaku.
Usianya belum mencapai 25 tahun namun usahanya sangat menjual. Ia juga sosok
yang misterius di kalangan pebisnis muda. Saat temanku menuju kearahku aku
sedikit tertegun melihat yang bersamanya. Begitu familiar sekali dan aku
seperti sangat tahu dengan sosok itu.
“Sudah
lama?” Tanya temanku.
“Nggak
kok.” Jawabku.
“Ini
narasumber kita. Namanya….”
Kata-kata
temanku seolah-olah tidak ku dengar lagi. Aku sangat tahu dengan dia. Dia
adalah orang yang mengaku sebagai pengagum rahasiaku. Ia adalah pemberi surat
saat kelulusanku.
“Oh, Tuhan! Mengapa dia?”
rintihku dalam hati.
Aku
masih ingat, saat kelulusan ia menyelinapkan surat itu. Aku melihatnya tapi aku
berpura-pura tidak tahu sama sekali. Dan isi surat yang tidak akan pernah ku
lupakan seumur hidupku karena lewat surat itu aku mengenal dia. Isi surat itu
membuatku sangat syok dan tidak ingin berbicara lagi dengannya. Isi suratnya
adalah
“Hai, kamu yang selalu ku kagumi.
Kamu apa kabar? Semoga baik-baik saja. Melalui surat ini aku akan menjelaskan
isi hatiku. Surat ini membawa lantunan melodi langsung dari dalam hatiku. Aku
sangat mencintaimu, aku menyukaimu sejak kita bertemu. Ingatkah kamu? Saat itu
kita ujian masuk sekolah bersama. Kamu menyapaku dengan ramahnya. Aku terpikat
karenanya. Dan kau meminjamkan alat tulismu itu. Saat itu aku tidak berhenti
memperhatikanmu. Diam-diam aku mengikutimu saat pulang setelah ujian. Aku
melihatmu bersama ayahmu. Ayahmu adalah orang yang baik. Aku juga mencari tahu
mengenai ayahmu. Ayahmu adalah seorang pengusaha ekspedisi barang ke daerah
terpencil. Kamu dan ayahmu sering tidak bertemu karenanya. Setelah itu keesokan
harinya aku masih mengikutimu saat pulang. Ayahmu memberikan sebuah kado
berpita biru. Isinya adalah anting-anting yang berkilauan.
Aku juga sebenarnya yang selalu
memberimu bunga setiap minggu yang ku selipkan di bawah mejamu setiap hari
sabtu. Itu bukan dari mantan pacarmu yang tidak mengerti seleramu. Aku yang
melakukannya. Banyak hal yang ku lakukan untukmu. Saat anting-antingmu hilang
aku bersikap dingin kepadamu. Aku hanya bisa diam saat pacarmu menenangkan
tangisanmu. Sebenarnya aku mencari antingmu di luar kelas hingga malam hari.
Hingga aku menemukannya. Lalu aku taruh tidak jauh dari bangkumu. Keesokan
harinya engkau menemukannya. Kamu tersenyum dan bahagia. Aku tahu, aku tahu,
aku tahu, karena aku memperhatikanmu. Selama tiga tahun ini terimakasih telah
menjadi temanku. Aku sangat menyukaimu. Aku mencintaimu.
Dari penggemar rahasiamu
Sampai kapan pun.”
Setelah
lulus aku tidak mau lagi berurusan dengan penguntit sepertimu. Aku takut
terhadap dirimu. Untung saja kita tidak satu universitas setelah lulus. Sejak
itu kami tidak pernah bertemu dan kini harus bertemu untuk tiga bulan. Saat
kita bersalaman dan dimulailah ketakutanku yang harus bertemu denganmu, lagi.
“Oke,
gue tinggal dulu ya!” Kata temanku.
“Baiklah.”
Kataku.
Kini
hanya kami berdua di meja itu. Lalu aku membaca profilnya. Dengan sedikit
mencuri pandangan aku sedikit khawatir.
“Kamu
apa kabar?” Tanyaku berusaha mencairkan suasana.
“Aku?
Baik kok.” Jawabnya.
“Oke, dia hanya klien dan klien
adalah raja.” Harapku dalam hati.
“Sudah
jadi pengusaha muda ya?” Tanyaku.
“Iya
begitulah. Melanjutkan usaha keluarga kok.” Jawabnya simple seolah biasa saja.
“Lama
ya tidak bertemu?” Tanyaku lagi.
“Maaf,
sebelumnya kita pernah bertemu?” Tanyamu balik padaku.
Aku
hanya terdiam sejenak. Kamu segitu sombongnya tidak mau mengenalku lagi.
Baiklah aku akan bersikap seperti biasa saja. Angin berhembus kencang,
sepertinya hujan akan turun. Kamu menawariku pulang, sebenarnya aku ingin
menolak. Tapi karena dia tidak bisa menjemputku dan aku menghargaimu sebagai
klienku maka aku terpaksa pulang bersamamu. Hujan mulai turun, tanpa banyak
bicara kita melewati jalanan yang sepi. Aku heran kepadamu yang seolah tidak
mengenalku. Apakah mungkin kamu dendam kepadaku setelah beberapa tahun ini?
Sebenarnya selama tujuh tahun semenjak pertemuanku pertama. Aku masih
menganggap dirimu aneh. Kamu berhenti di depan rumahku, tanpa aku minta masuk
kamu hanya tersenyum dan pergi.
Aku
seperti mengenalnya, sangat mengenalnya dan aku menjadi berdebar saat di
dekatnya. Siapa dia? Seperti anak SMP yang baru masuk ujian SMA. Aku penasaran
dengan gadis itu. Gadis itu sangat menarik seperti sosok yang pernah aku kenal
entah siapa. Kini di dalam pikiranku adalah abu-abu menengai gadis penulis
konten itu. Sakit kepalaku memikirkannya. Aku harus kembali lagi ke dokter
langgananku. Aku harus berkonsultasi kepadanya. Sebenarnya dia adalah seorang
pskiater yang selalu setia menemaniku sejak lima tahun lalu.
“Halo,
dok.”
“Halo
juga. Lama tidak bertemu ya?”
“Bagaimana
hari ini?”
“Hari
ini baik. Tapi hari ini aku bertemu seorang gadis.”
“Wah,
pacar?”
“Bukan
dokter.”
“Lalu?”
“Seorang
relasi baru. Tapi aku seakan mengenalnya. Seperti familiar sekali.”
“Mungkin
ia memang orang yang pernah mengenalmu dan kalian saling mengenal.”
“Aku
tidak tahu dok. Semuanya masih abu-abu.”
“Bisa
jadi dia adalah gadis yang berada di masa lalumu.”
“Entahlah
dokter.”
“Perawatanmu
akan terus saya lanjutkan. Semoga kau mengingat gadis itu.”
“Semoga.”
--
Ibu
membuatkan susu hangat kesukaanku. Hujan tadi sedikit membasahi badanku. Tidak
terasa besok adalah peringatan dua tahun kepergian ayah dan minggu depan adalah
momen tidak terlupakan bagiku. Orang tua dia mengajaku makan malam. Aku yakin
akan ada hal special yang di berikannya. Aku harus istirahat, karena besok
adalah hari pertamaku bekerja sama dengan seseorang yang ingin aku lupakan
karena keanehannya dan sekarang ia menjadi taruhanku untuk mendapatkan promosi
di usiaku yang masih muda di dua puluh empat tahun.
Hari
pertama dan untuk minggu pertama juga,
Aku
mengikuti kegiatanmu dengan meeting juga bersama klienmu. Aku mencatat setiap
langkahmu dan merekamnya sebagian. Aku yakin aku akan mendapatkan hal yang
menarik untuk artikelku serta aku akan mendapatkan jabatan divisi publish. Aku
yakin dan yakin pasti bisa. Hari pertama
ku lalui dengan biasa dan bisa. Keesokan harinya aku masih mengikuti
kegiatanmu. Aku masih kuat bersama denganmu karena kamu adalah klienku.
“Nona,
bagaimana kamu masih bisa ikut aku makan malam bersama klienku lusa?” Tanyamu.
“Bisa.
Aku bisa. Aku kan di tugaskan untuk mengikuti kegiatanmu oleh bosku.” Jawabku.
Aku
berpakaian rapid an berusaha terlihat menarik. Entah mengapa aku ingin
berpakaian yang dapat memikat pandangan orang-orang. Makan malam yang sangat
membosankan menurutku karena bertemu para pemilik saham. Kamu mengantarkanku
pulang, lagi.
“Terimakasih
ya sudah menemaniku.”
“Ini
tugasku.”
“Antingmu
bagus. Berkilau.”
“Terimakasih.
Ini sesuatu yang berharga.”
“Pasti
dari orang yang sangat kamu cintai.”
“Iya,
ini dari ayahku.”
Aku
turun dari mobilmu. Kamu tersenyum kepadaku dan melambaikan tanganmu. Jantungku
berdegup kencang dan mengapa terjadi aku juga tidak tahu. Sangat-sangat
membuatku sesak dan sulit bernafas.
“Kamu bodoh atau apa sih? Ini kan
anting-anting yang pernah kamu carikan untukku.”
Teriakku dalam hati.
--
Orang
tuanya sungguh baik kepadaku. Aku tidak kuasa menolak tawaran kedua orang
tuanya dan dia. Apalagi ibu telah menyetujui hubungan kita. Kamu melamarku dan
kita akan bertunangan minggu depan. Aku sangat bahagia sekali. Sangat senang
sekali hatiku karenanya. Tidak terasa juga sudah sebulan berlalui aku jalani
sama kamu dan mengikuti kegiatan kamu. Karena kamu masih berusaha tidak
mengenalku dan mungkin karena profesionalitas sebagai klien maka aku akan
mengundangmu dalam pesta pertunanganku.
“Datang
ya?”
“Baiklah,
Nona.”
“Terimakasih.”
Hatiku
sesak sekali saat menerima undangan itu. Entah mengapa gadis yang ku panggil
nona itu akan bertunangan dengan kekasihnya. Aku sampai harus bertemu bersama
dokterku lagi. Ia adalah psikiater yang sudah menjadi temanku dan bahkan ku
anggap sebagai saudaraku sendiri.
“Mungkin
kamu berusaha menghapusnya dari kenangan masa lalumu.”
“Entahlah
dok. Semuanya masih abu-abu.”
“Kamu
kan belum pulih. Kejadian dua tahun lalu memang membuatmu membangun pembatas
antara kenangan yang kamu inginkan dan lupakan.”
“Atau
karena dari beberapa tahun yang lalu juga? Karena aku terlalu aktif atau malah
hiper-aktif?”
“Bisa
jadi.”
“Sebaiknya
kamu membuka buku tahunanmu agar kamu tahu siapakah dia sebenarnya.”
Aku
membuka buku tahunanku, saat sekolah aku mencari data-data siswa dan alangkah
terkejutnya aku. Aku sekelas dengan gadis yang sering ku panggil nona itu.
Kepalaku sangat sakit dan semua terasa gelap. Dadaku sesak sekali hingga aku
tidak mengingat apa-apa lagi.
Pesta
kecil pertunangan,
Semua
tamu telah datang. Hingga acara berlangsung diam-diam aku mencarimu, aku tidak
yakin mengapa aku berperilaku seperti itu. Saat dia menyematkan cincin
pertunangan aku bahagia sekali. Kami berencana menikah tiga bulan lagi. Itu
artinya sebulan setelah aku mengakhiri kontrak kerja bersama kamu dan aku akan
membina rumah tangga bersamanya. Dia yang selalu mencintaiku. Malam ini ku
lalui dengan bahagia walau kamu tidak ada.
Hampir
dua minggu kita tidak bertemu, ternyata kamu sedang di rawat di rumah sakit.
Aku terpaksa menjengukmu karena perintah bosku dan artikelmu harus tetap
terbit. Pihak perusahaanmu meminta agar hal ini dimuat sebagai artikel kelelahan
bekerja di usia muda. Aku menurut saja mengikuti scenario yang ada. Aku
membawakan buah-buahan dan susu untukmu.
“Selamat
siang.”
“Siang.
Wah, nona datang. Repot-repot sekali membawa buah tangan.”
“Tidak
juga, kok. Kamu sakit apa?”
“Kelelahan
saja. Wah, sudah ada yang melingkar di jari manis kirimu ya. Selamat atas
pertunanganmu. Maaf aku tidak bisa hadir.”
“Iya
tidak apa kok. Terimakasih ya?”
“Iya.
Karena aku sakit terpaksa artikelmu tertunda ya?”
“Tidak
juga.”
“Tidak
terasa lima minggu lagi berakhir kontrak kita.”
“Iya.”
“kamu
sebenarnya teman sekelasku kan lagi sekolah?”
“Memangkan?”
“Mengapa
kamu tidak memberi tahuku?”
“Aku…
aku pikir kamu sengaja pura-pura lupa padaku.”
“Oh,
maaf! Aku mengalami gangguan ingatan.”
“Gangguan?”
“Iya.
Aku mengingatmu setelah membuka buku tahunan. Aku mengalami gangguan ingatan
setelah dua tahun lalu mengalami kecelakaan. Tepatnya tanggal tiga Juni.”
“Tiga
juni?”
“Kenapa?”
“Itu
hari di mana ayahku meninggal, sama tepat dua tahun lalu.”
“Kebetulan
sekali ya?”
“Mungkin.”
Maafkan
aku yang melupakanmu. Tapi kamu membuatku mengingat sedikit demi sedikit
ingatanku yang pernah ku lupakan. Ada sesuatu yang membuatku masih sesak saat
memikirkanmu. Sesuatu yang tidak bisa ku ucapkan dan hal ini begitu terasa
mendalam sekali. Sangat membuatku tersiksa seperti saat melihat jari manismu di
lingkari cincin dari dia. Apakah kamu adalah seseorang yang pernah berarti
dalam hidupku?
--
Beberapa
hari setelah dari rumah sakit aku mencari informasi mengenai kecelakaan dua
tahun lalu pada tanggal tiga juni. Ternyata bukan kebetulan ayah meninggal di
hari yang sama kamu kecelakaan. Kamu dan
ayah terlibat dalam kecelakaan beruntun yang sama. Kalian adalah korban dari
tabrakan saat hujan itu. Kini aku mengerti akan kondisimu. Dari sekian
keanehanmu kini aku merasa kasihan kepadaku, tapi mengapa pertemuan singkat
yang akan berakhir ini memberikan hatiku debaran yang berbeda? Mungkinkah?
Sudah
dua bulan kita bekerja sama, dan ini adalah bulan terakhir kita bersama. Sedikit
demi sedikit aku mengingatmu. Tapi aku belum yakin apakah aku pernah
mencintaimu apa tidak. Mengapa semuanya begitu rumit?
Pagi
masih berselimut embun. Di pagi buta ini aku harus menemani klienku lagi ke
sebuah pembukaan restoran baru miliknya. Dingin sekali cuacanya hari ini. Kali ini
aku yang menjemput klienku karena kondisi yang baru keluar rumah sakit beberapa
minggu lalu.
“Aku
dulu gimana?”
“Kamu
aneh.”
“Masa?”
“Iya,
aku aja heran kok kamu sekarang malah sukses gini.”
Laju
mobil ku hentikan di depan restorannya.
“Sudah
sampai. Masih sepi sih.”
“Iya.”
Sambil
menunggu kami diam-diaman saja. Hening terasa di pagi yang mulai menampakan
sinarnya itu. Hujan yang membasahi telah berhenti. Kemudian, ia mendekat
kearahku.
“Aku
ingin memastikan sesuatu.”
“Apa?”
Dia
menatap mataku dan kemudian mencoba mendekat, aku hanya terdiam dan perlahan
tatapan matanya melemahkanku. Ia berusaha mendekat, nafasnya terasa mendekat ke
wajahku. Perlahan ia semakin dekat, terasa lembut dan hangat saat bibirnya
mendekat kearahku. Aku tidak mengerti mengapa aku terdiam saat itu. Kecupan itu
membuat bibirku mulai basah, masih hangat terasa. Selepas itu ia memelukku
dengan hangat dan erat. Ia mendekat ketelingaku dan mulai berbisik.
“Kamu,
yang aku cinta. Akulah pengagum rahasiamu.” Bisiknya di telingaku.
Aku
yakin ingatannya tentang kami yang dulu telah kembali. Aku berusaha melepaskan
pelukkannya. Ia belum juga melepaskanku hingga ponselku berbunyi.
“Halo?
Iya.. iya .. iya pak. Kami sudah di depan restoran. Silahkan datang
kameramennya. Saya sudah siap menulis artikelnya.
Aku
lalu menampar wajahnya namun tidak bisa saat menatapnya.
“Aku
akan menikah dua bulan lagi.”
“Selamat.”
Ia
hanya tersenyum kepadaku dan turun dari mobil. Hari ini berjalan seperti biasa
seperti tidak terjadi apa-apa. Malam tiba, dia menelpoku dan menanyakan
kabarku. Aku sangat senang dia menelponku. Siapa sih yang tidak senang ditelpon
calon suaminya. Aku merasa bersalah atas perbuatan kamu tadi pagi kepadaku. Aku
takut dia tahu soal itu dan aku tetap merahasiakan soal kamu ke dia. Udara dingin
sangat terasa. Pukul sebelas malam, jalanan mulai sepi akan lalu lalang. Wajahku
mulai memerah.
Setelah
kejadian tadi pagi aku yakin dialah cinta sejatiku sejak dari dulu. Tapi kabar
pernikahannya menyakitkanku. Sakit sekali terasa di dalam hatiku. Saat pulang
dan sudah larut malam aku melihatnya mengemudi dengan wajah yang memerah. Aku menyuruhnya
berhenti di pinggir jalan.
“Stop
dulu.”
“Iya.”
Kami
makan di pinggir jalan di warung sate ayam. Ia terlihat lesu, apa karena
perbuatanku tadi pagi? Selesai makan ia berjalan lunglai dan pingsan. Ia terserang
demam, terpaksa aku ambil alih untuk meyetir pulang. Ia wanita yang sangat special.
Aku membawanya ke klinik, ia masih belum sadar.
“Aku
di mana?”
“Kamu
di klinik.”
“Antar
aku pulang.”
“Baiklah.”
AKu
mengantarkannya pulang. Wajahnya saat tertidur bagaikan malaikat, aku yang
menyetir saja tidak bisa konsentrasi karenanya. Betapa beruntungnya dia yang
akan memiliki kamu.
--
Kontrak
kita telah berakhir, aku akhirnya naik jabatan setelah promosi. Divisi publish,
akhirnya!
Kamu
kini menjadi pengusaha yang masih maju dan berkembang. Ada sedikit yang masih
menyesakan dada. Aku berusaha ingin bertemu denganmu. Ada yang ingin ku
sampaikan kepadamu. Kamu beberapa kali menolak karena kesibukanmu dan aku masih
berusaha merendahkan diriku di hadapanmu hingga akhirnya kamu mau berjumpa
denganku.
“Terimakasih
telah datang.”
“Iya.
Langsung saja.”
“TErimakasih
waktu itu saat aku sakit..”
“Sudah
kewajiban sesame teman.”
“satu
hal ada yang ingin aku tanyakan.”
“Apa
itu?”
“Apakah
kamu masih mencintaiku?”
Hening
sejenak terasa di ruangan itu. Seakan hanya kami berdua dan membekukan waktu.
“Aku
tidak bisa menjawabnya. Karena kamu akan menikah dan itu tidak akan merubah
segalanya…”
“Aku perlu tahu.”
“Cukup
kita berteman kan? Seperti dulu seperti yang kau inginkan.”
Sebenarnya
aku ingin mendengar jawabanmu. Karena dalam hatiku juga ingin ku sampaikan
sesuatu yang membuat dada ini sesak karenamu.
“Terimakasih selalu ada untukku
dari dulu hingga sekarang dan sepertinya aku mulai menyukaimu dan jatuh cinta
padamu.” Ucapku dalam hati.
Kamu
pergi melewati diriku dan melanjutkan pekerjaanmu dan hidupmu.
Saat
kamu sudah kembali dan membangkitkan ingatanku aku yakin kamu cintaku. Saat kita
bertemu, setelah urusan pekerjaan kita selesai dan kamu mengucapkan hal itu aku
hanya bisa terdiam.
“satu
hal ada yang ingin aku tanyakan.” katamu
“Apa
itu?” Tanyaku.
“Apakah
kamu masih mencintaiku?” Tanyamu balik yang merupakan pertanyaanmu.
Hening
sejenak terasa di ruangan itu. Seakan hanya kami berdua dan membekukan waktu. Aku
terkejut kamu menanyakan itu. Tentu aku masih mencintaimu dan aku sangat
berterimakasih kamu mengembalikan ingatanku yang pernah hilang.
“Aku
tidak bisa menjawabnya. Karena kamu akan menikah dan itu tidak akan merubah
segalanya…” Jawabku dengan terpaksa.
“Aku perlu tahu.” Pinta mu lagi.
“Cukup
kita berteman kan? Seperti dulu seperti yang kau inginkan.”. Kataku.
Setelah
itu aku pergi meninggalkanmu, berlalu melewatimu walau sebenarnya aku ingin
berbalik dan berteriak bahwa aku mencintaimu.
“Aku mencintaimu, dulu, kini dan
nanti karena aku pengagum rahasiamu.” Ucapku dalam hati.
Dua
minggu kemudian,
Aku
menerima sesuatu berpita biru yang sangat indah dan sedikit berkilau. Aku tahu
itu seleramu, semoga dia bisa membahagiakanmu. Undangan pernikahanmu begitu
indah saat ku buka dan tak kuasa air mataku mengalir.
Saat
mengirimkan semua undangan itu hatiku sedang tak menentu. Apakah ini cinta
setelah tujuh tahun berlalu? Mungkinkah semuanya berubah seandainya dia
menyatakan cintanya lagi kepadaku seperti perkenalan kami saat masih remaja?
Pernikahan ini akan berlangsung dengan undangan yang sudah tersebar dan salah
satunya pasti sudah di tanganmu.
0 komentar:
Posting Komentar