Hari ini (31/1/12) aku pulang sekolah seperti biasa. Namun, ada beberapa potret dinamika kehidupan terjadi di Kota Samarinda yang ku cintai. Hampir setiap lampu merah, aku menemui anak-anak jalanan, pengemis dan pengamen. Tidak pandang usia mereka seperti "Jamur yang tumbuh di musim hujan" di kotaku ini. Entah mengapa aku agak miris bercampur risih. Miris karena mengapa harus seperti itu kerjanya? Buat apa merantau jauh-jauh jika kerjanya seperti itu? dan Risih karena tingkat kejahatan jadi meningkat.
Berbeda dari beberapa tahun yang lalu, Samarinda masih sunyi dari kendaraan bermotor dan hunian mewah hingga kumuh. Kawasan Samarinda Seberang saja dekat SMPku dulu SMP Negeri 3 Samarinda masih asri. PDAM dekat sana saja masih mengeluarkan air terjun kecil di gunungnya. Sekarang sangat berbeda, pembangunan mulai merajalela. Kawasan yang dulu tidak banjir kini hujan setengah jam saja bisa membuat daerah itu terendam. Pinggiran jalan mulai di hiasi permukiman liar, jalan-jalan rusak berat akibat truk, terutama truk peti kemas dan tambang.
Miris melihat anak-anak jalanan seperti terbuang dari kehidupan layak dari orang tuanya. Mereka seakan mesin pencari -penghasil uang- sempat cerita abah saat ada anak jalanan yang ikut menyebrang jembatan Mahakam cerita bahwa ia tidak boleh pulang sebelum koran yang ia bawa habis terjual. Mana mungkin ada yang mau beli koran hari ini malam-malam? Sungguh ironi di kota yang kaya akan tambang dan mengasilkan lubang-lubang -akibat pertambangan-.
Cerita lainnya saat aku kelas 2 SMK, pagi itu di persimpangan tiga lampu merah Antasari ada kejadian tak terduga. Seorang pengemis turun dari mobil yang bisa di bilang mewah -kalau gak Xenia ya Avanza- aku dan abah yang melihat hal itu langsung tercengang. Ada pula cerita pengemis cacat yang nongkrong di warung -Cerita dari Teman abah, Om Ansah (Jalan Merdeka)- katanya pengemis itu membayarkan makan semua orang yang ada di warung itu. Bahkan Handphonenya BB (BlackBerry) sebanyak 2 Unit, menurut penuturan pengemis itu pendapatannya bisa mencapai Rp 400.000 hingga Rp 800.000 setiap harinya. Fantastis sekali!!! Pernah juga melihat secara langsung di daerah pasar Pagi -saat itu kebakaran di salah satu Dealer dekat Bank BRI dan Kantor Pos- seorang pengemis buta menerima panggilan dan aku, kakakku dan mamaku terkejut melihat pengemis buta itu mendapat informasi dari temannya tentang peristiwa kebakaran dengan handphone Nokia yang mahal pada saat itu -mungkin kisaran 1juta ke atas- . Pengemis kaya dari pada karyawan yang kerja di toko, menurutku seperti itu.
Aku juga punya tetangga seorang pemulung -pencari sampah- yang menurutku hidupnya makmur. Beliau memiliki seorang istri dan 3 orang anak. Memiliki kendaraan roda 2 -Vario- jadi jangan sepelekan kerjaan mereka. Potret dinamika kehidupan Samarinda mungkin akan terus berkembang dari tahun ke tahun. Aku akan berusaha mencoba mengiikuti alur perubahan sosial yang terus terjadi di Samarinda tercinta yang mungkin akan tenggelam karena penggalian tambang. Aku berharap kinerja pemerintah harus optimal untuk menyelamatkan kota ini dari berbagai masalah kehidupan.